Ragam  

Pendekatan kultural, Minimalisir Konflik Jelang Pemilu di Kabupaten ‘Indonesia Mini’

Pendekatan kultural juga memiliki beberapa keutamaan jika dibandingkan pendekatan normatif. Pertama, pendekatan kultural bersifat holistik, dimana mampu menyentuh jiwa sekaligus raga seorang manusia. Bahkan hakekat manusia itu ada pada jiwanya sehingga pendekatan material-ekonomi tidak cukup untuk menyelesaikan urusan manusia. Manusia sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang memiliki kebudayaan dan dikaruniai potensi kreatifitas untuk dapat bertahan hidup di alam semesta. Dalam menjalankan kreatifitasnya manusia memiliki sistem moral, rasa, etika, nilai-nilai, adat, tradisi, etika, dan estetika.

Kedua, bersifat partisipatif dan responsif. Pendekatan kultural memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi. Masyarakat diposisikan sebagai subjek utama. Aspirasi masyarakat dari akar rumput lebih mudah diidentifikasi .Sehingga para pemangku kepentingan bisa segera merespon dalam bentuk formulasi kebijakan yang dapat menjawab segala kegelisahan masyarakat.

Ketiga, pendekatan kultural memberikan penghargaan pada kearifan lokal atau local wisdom yang terdapat dalam masyarakat. Kita ketahui setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi-tradisi luhur yang dapat dijadikan dasar dalam memperkuat hubungan antar mereka. Seperti tradisi madero (tarian khas salah satu suku di Pasangkayu, dimana antar satu orang dengan orang lainya saling berpegang tangan dan membentuk lingkaran). Madero sebagai salah satu tradisi yang dapat meningkatkan keakraban antar satu orang dengan orang lainya, tanpa melihat latar belakang.

BACA JUGA:  Diskes Sulbar Turut Berpartisipasi pada Ajang Apresiasi Kader dan Posyandu Bidang Kesehatan 2025

Keempat, pendekatan kultural membuat proses pendewasaan demokrasi bisa lebih efektif dilakukan. Dengan memanfaatkan tradisi dan model komunikasi yang berlaku dalam komunitas mereka, upaya edukasi, pendidikan politik dan pemberian informasi tentang kepemiluan dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik. Sehingga, secara perlahan kesadaran politik mereka terbangun dan tidak mudah diadu domba. Mereka juga akhirnya dapat menjadi pemilih idealis dan meninggalkan pola pikir pragmatis.

BACA JUGA:  Delapan Dekade TNI, Wagub Sulbar: Bukti Pengabdian Tanpa Pamrih untuk Negeri

Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat dalam Pemilu bisa semakin meningkat. Sebab mereka tidak lagi digerakkan oleh kepentingan sesaat, tapi oleh kesadaran jangka panjang demi kemajuan bangsa dan daerahnya.

Pertanyaan sekarang, apa langkah awal yang bisa dilakukan. Hemat penulis, pendekatan kultural bisa dimulai dengan membentuk kelompok binaan didalam komunitas etnis. Melalui kelompok binaan, pemangku kepentingan bisa memulai secara perlahan upaya edukasi dan pendidikan politik. Dengan memanfaatkan tradisi budaya yang ada di komunitas tersebut. Kedepan, kelompok binaan itu diproyeksi menjadi pionir dalam komunitasnya.

BACA JUGA:  Wagub Sulbar Sambangi Kemenag, Bahas Sinergi Pembangunan dan Moderasi Beragama

Selain itu juga melalui pembentukan jejaring lintas pemimpin komunitas, para tokoh adat, agama, dan pemuda. Jejaring itu bisa menjadi media komunikasi efektif untuk membahas segala macam bentuk isu terkini, serta resolusi konflik. Jejaring mengagendakan pertemuan rutin, untuk membahas agenda bersam, serta dalam rangka semakin mepererat jalinan silaturahim.

Pada akhirnya, kita semua berharap, para aktor politik juga bisa menjadi bagian dalam upaya pendewasaan demokrasi. Sehingga proses kompetisi politik berlangsung sehat dan jauh dari upaya-upaya provokasi. Wassalam.