EKSPOSSULBAR.CO.ID, PASANGKAYU – Wakil Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Salim S. Mengga, menyatakan keprihatinannya atas sengketa agraria antara warga dan perusahaan kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu. Ia menegaskan bahwa penyelesaian konflik ini harus segera dituntaskan tanpa ada upaya saling adu domba.
Pada Selasa sore, 13 Mei 2025, Salim menggelar pertemuan dengan warga di Dusun Lembah Harapan, Desa Jengeng Raya, Kecamatan Tikke Raya. Pertemuan tersebut turut dihadiri oleh Bupati Pasangkayu Yaumil Ambo Djiwa, perwakilan Kanwil ATR/BPN Sulbar, Kepala ATR/BPN Pasangkayu, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Sulbar, Kepala Inspektorat Sulbar, Dandim 1427 Pasangkayu, Wakapolres Pasangkayu, kepala desa setempat, serta tokoh masyarakat.
Dalam sambutannya, Salim menegaskan bahwa tujuan kedatangannya bukan untuk mencari siapa yang benar atau salah, melainkan untuk mencari solusi konkret.
“Hari ini saya perintahkan kepada instansi terkait seperti perkebunan, kehutanan, BPN, dan biro hukum untuk mengkaji masalah ini secara menyeluruh. Jangan bilang masalah ini sulit diselesaikan. Harus ada jalan keluar,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa dirinya tidak peduli siapa yang berada di balik perusahaan. “Silakan perusahaan bekerja, tapi masyarakat juga harus hidup tenang. Kalau perlu, saya akan datangi pihak di Jakarta. Sengketa ini tak boleh berlarut-larut. Negara ini berdasarkan hukum, tidak boleh ada tindakan semena-mena,” lanjutnya.
Salim juga mengimbau warga agar tidak serta-merta membenci pengusaha, selama mereka bekerja sesuai aturan.
“Kalau ada perusahaan melanggar atau merusak, tentu izinnya akan kami evaluasi,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan para pejabat agar tidak bermain mata dengan perusahaan. “Saya tidak mau dengar ada pejabat kongkalikong. Jangan sampai diberi sesuatu lalu gelap mata,” tambahnya.
Sementara itu, Bupati Pasangkayu Yaumil Ambo Djiwa menyebut bahwa akar masalah terletak pada keputusan di tingkat pusat.
“Kunci penyelesaian ada pada gubernur dan wakil gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Pimpinan perusahaan di daerah tidak punya kewenangan penuh. Harus melibatkan direksi PT Astra di Jakarta dan masyarakat,” kata Yaumil.
Tokoh masyarakat, Yani Pepy, memaparkan bahwa hampir semua perusahaan sawit di Pasangkayu telah melebihi batas izin Hak Guna Usaha (HGU), bahkan menimbulkan tumpang tindih dengan sertifikat hak milik masyarakat di 1.372 bidang tanah.
Ia juga menyoroti kejanggalan lain, seperti diterbitkannya HGU oleh pemerintah Sulawesi Tengah atas nama PT Lestari Tani Teladan, padahal objek tanahnya berada di wilayah Sulbar.
“Bahkan fasilitas publik seperti Polsek, sekolah, hingga desa Pakawa masuk dalam HGU PT Pasangkayu. Belum lagi tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung,” ungkapnya.
Yani menekankan bahwa kampung seperti Dusun Kalindu sudah ada sebelum adanya undang-undang kehutanan.
“Saya bisa buktikan dengan dokumen milik almarhum orang tua saya bahwa kampung itu lebih dulu ada,” jelasnya.
Menurutnya, perusahaan membuka lahan secara masif sebelum memiliki izin resmi, dan ketika izin diterbitkan, luasnya justru lebih kecil dari yang sudah dibuka.
Ia menyebut bahwa pengukuran oleh BPN dilakukan sebelum ada pelepasan kawasan hutan, yang menyalahi prosedur.
“Gambar ukur terbit 1994, sementara pelepasan kawasan hutan baru terjadi tahun 1996. Seharusnya pelepasan kawasan hutan dilakukan terlebih dahulu,” kata Yani.
Ia menyimpulkan bahwa banyak lahan HGU ditelantarkan oleh perusahaan, sehingga dikuasai oleh masyarakat tanpa ada keberatan dari pihak perusahaan.
“Bukti penelantaran itu adalah keberadaan bangunan milik pemerintah dan sertifikat masyarakat di atas lahan HGU,” tutupnya.
Yani menduga konflik ini mencuat akibat peralihan dari peta manual ke peta digital pada tahun 2017. (rls/*)