Aria Bima Tegaskan Implikasi Putusan MK Kompleks, Wacana Perpanjangan Jabatan DPRD Perlu Dikaji Serius

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima.

EKSPOSSULBAR.CO.ID, JAKARTA – Wacana perpanjangan masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang pemisahan jadwal Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai 2031, dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun.

Sejumlah pihak menilai wacana ini tidak bisa diputuskan secara tergesa-gesa dan harus dikaji secara menyeluruh dari aspek hukum, politik, hingga dampaknya terhadap demokrasi lokal.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Aria Bima, menegaskan bahwa implikasi dari putusan MK tersebut bersifat kompleks dan membutuhkan perhatian serius.

BACA JUGA:  Agus Salurkan Bibit di Sulbar, Halim: Ini Bisa Membuat Petani Semakin Produktif

Ia menyatakan bahwa perubahan masa jabatan legislatif daerah harus dibahas secara hati-hati dengan melibatkan DPR, pemerintah, serta seluruh pemangku kepentingan.

“Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama untuk menyepakati langkah strategis sebagai respons atas putusan MK,” kata Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senayan, akhir pekan ini.

BACA JUGA:  Dukung Transparansi Aset Daerah, Dinas Kominfo SP Sulbar Hadirkan Seluruh Randis untuk Pemeriksaan Fisik

Ia menilai kondisi tersebut menambah urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara menyeluruh.

Menurutnya, pembahasan idealnya melibatkan panitia khusus (pansus) lintas komisi, bukan hanya melalui panitia kerja (panja), karena besarnya dampak yang mungkin timbul.

“Apakah akan ditambahkan pasal peralihan atau norma baru dalam UU Pemilu, semua harus dipikirkan secara integral. Ini menyangkut desain besar sistem pemilu dan masa depan demokrasi nasional,” ujarnya.

BACA JUGA:  Tindak-lanjut Pertemuan Gubernur Suhardi Duka dengan Beberapa Kementerian, Junda: OPD Harus Respon Cepat

Aria juga menekankan pentingnya pendekatan kodifikasi atau omnibus law dalam penyusunan undang-undang kepemiluan agar regulasi yang dihasilkan lebih komprehensif dan responsif terhadap dinamika terkini.

“Undang-undang pemilu ke depan harus menjadi produk korektif yang menjawab berbagai tantangan yang belum diakomodasi oleh regulasi saat ini,” pungkasnya. (*)