DALAM era digital yang serba cepat saat ini, media sosial kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook mempermudah komunikasi, menyebarkan informasi, hingga membentuk komunitas. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga membuka ruang yang luas bagi kerusakan moral, salah satunya melalui normalisasi gaya hidup bebas dan meningkatnya kasus perselingkuhan.
Bebas tapi tak bertanggung jawab
Kebebasan berekspresi di media sosial sering kali disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Konten-konten yang menyuguhkan gaya hidup hedonis, hubungan tanpa komitmen, dan pamer kemesraan di luar batas wajar semakin mudah diakses, bahkan oleh anak di bawah umur. Fenomena ini perlahan mengikis batas-batas etika, norma, dan nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Media sosial, yang awalnya dimaksudkan untuk mempererat koneksi antarindividu, kini justru kerap menjadi pemicu konflik dalam hubungan. Melalui fitur pesan pribadi, peluang untuk menjalin hubungan diam-diam semakin besar. Perselingkuhan yang dulunya sulit dilakukan, kini dimudahkan oleh teknologi. Banyak kasus menunjukkan bahwa hubungan gelap bermula dari interaksi ringan di media sosial yang terus berkembang menjadi keterikatan emosional dan fisik.
Perselingkuhan sebagai fenomena “normal” baru?
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, fenomena perselingkuhan kini mulai dianggap sebagai hal biasa. Di mana media sosial, banyak konten yang justru mempromosikan atau bahkan memparodikan perselingkuhan seolah-olah itu bukan pelanggaran moral. Diamana influencer atau tokoh publik yang terlibat dalam skandal pun sering kembali mendapat sorotan dan popularitas, bukan sanksi sosial. Ketika pelanggaran moral tak lagi diberi sanksi, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: “tidak apa-apa melakukan kesalahan, asal viral.”
Pendidikan moral yang tertinggal
Masalah ini berakar dari kurangnya pendidikan moral yang kontekstual dengan zaman. Pendidikan karakter tidak cukup hanya diberikan di sekolah atau rumah, tetapi juga harus dipahami dalam interaksinya dengan dunia digital. Orang tua dan pendidik perlu melek teknologi, agar bisa mendampingi anak-anak menghadapi banjirnya informasi dan godaan yang datang dari layar ponsel mereka.
Solusi dan harapan
Untuk mengembalikan moralitas dalam kehidupan bermedia sosial bukan hal mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Diperlukan kerja sama semua pihak baik itu keluarga, sekolah, tokoh masyarakat, hingga platform digital. Literasi digital harus diperkuat, dan kesadaran akan nilai kesetiaan, kejujuran, dan tanggung jawab harus kembali ditegakkan. Media sosial seharusnya menjadi alat penghubung yang memperkuat nilai kemanusiaan, bukan celah bagi kerusakan moral.
Pada akhirnya, teknologi hanyalah sebuah alat. Manusialah yang mesti menentukan akan digunakan untuk membangun, atau menghancurkan.
OLEH: Chalid M.