Opini  

Rusaknya Moral di Tengah Bebasnya Media Sosial dan Meningkatnya Perselingkuhan

Ilustrasi menggambarkan jarak emosional dan hubungan yang retak akibat penggunaan media sosial yang berlebihan. --Gemini Generated Image--

DALAM era digital yang serba cepat saat ini, media sosial kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Facebook mempermudah komunikasi, menyebarkan informasi, hingga membentuk komunitas. Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga membuka ruang yang luas bagi kerusakan moral, salah satunya melalui normalisasi gaya hidup bebas dan meningkatnya kasus perselingkuhan.

Bebas tapi tak bertanggung jawab

Kebebasan berekspresi di media sosial sering kali disalahartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Konten-konten yang menyuguhkan gaya hidup hedonis, hubungan tanpa komitmen, dan pamer kemesraan di luar batas wajar semakin mudah diakses, bahkan oleh anak di bawah umur. Fenomena ini perlahan mengikis batas-batas etika, norma, dan nilai yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat.

BACA JUGA:  Dari Ladang Warisan ke Pasar Global: Kisah Inspiratif Kopi Kobshii Batui

Media sosial, yang awalnya dimaksudkan untuk mempererat koneksi antarindividu, kini justru kerap menjadi pemicu konflik dalam hubungan. Melalui fitur pesan pribadi, peluang untuk menjalin hubungan diam-diam semakin besar. Perselingkuhan yang dulunya sulit dilakukan, kini dimudahkan oleh teknologi. Banyak kasus menunjukkan bahwa hubungan gelap bermula dari interaksi ringan di media sosial yang terus berkembang menjadi keterikatan emosional dan fisik.

BACA JUGA:  Dari Ladang Warisan ke Pasar Global: Kisah Inspiratif Kopi Kobshii Batui

Perselingkuhan sebagai fenomena “normal” baru?

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, fenomena perselingkuhan kini mulai dianggap sebagai hal biasa. Di mana media sosial, banyak konten yang justru mempromosikan atau bahkan memparodikan perselingkuhan seolah-olah itu bukan pelanggaran moral. Diamana influencer atau tokoh publik yang terlibat dalam skandal pun sering kembali mendapat sorotan dan popularitas, bukan sanksi sosial. Ketika pelanggaran moral tak lagi diberi sanksi, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: “tidak apa-apa melakukan kesalahan, asal viral.”

BACA JUGA:  Dari Ladang Warisan ke Pasar Global: Kisah Inspiratif Kopi Kobshii Batui

Pendidikan moral yang tertinggal