Ragam  

Pendekatan kultural, Minimalisir Konflik Jelang Pemilu di Kabupaten ‘Indonesia Mini’

SUDAH menjadi kelaziman, dalam setiap pelaksanaan Pemilu atau pesta demokrasi di Indonesia, biasanya akan diikuti dengan meningkatnya tensi politik. Disebabkan oleh gesekan kepentingan, antar aktor-aktor politik.

OLEH: Hasnur

Gesekan kepentingan, secara tidak sadar kadang dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi mencapai kepentinganya sendiri. Berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, diantaranya dapat memicu konflik sosial ditengah masyarakat.

Potensi konflik sosial bisa semakin besar terutama diwilayah atau kabupaten yang masyarakatnya heterogen seperti Kabupaten Pasangkayu. Terlebih jika tidak dibarengi pendewasaan politik ditingkat akar rumput.

Sudah sejak lama kabupaten paling utara Sulbar ini dikenal sebagai ‘Indonesia Mini’. Lantaran didiami oleh masyarakat yang berasal dari berbagai suku dan agama. Memang, jika berkaca pada setiap pelaksanaan pesta demokrasi di Pasangkayu beberapa tahun belakangan, daerah ini nampak masih terlihat aman-aman saja. Tidak terjadi konflik yang berarti, apa lagi mengarah ke konflik sara. Namun, bukan menjadi jaminan dalam pelaksanaan pesta demokrasi dimasa-masa mendatang.

Tidak ada yang bisa memastikan seperti apa watak dan tipikal aktor-aktor politik di Pasangkayu yang akan tampil kedepan. Apakah mengedepankan kepentingan umum, dan memiliki perilaku politik santun, atau malah sebaliknya. Apa lagi jika dikaitkan dengan potensi sumber daya alam (SDA) Pasangkayu yang cukup melimpah, serta posisinya yang strategis dengan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang kemungkinan membuat sebagian orang rela berbuat apa saja demi menguasai daerah ini.

BACA JUGA:  Sekda Herman Suryatman Ajak Majelis Musyawarah Sunda Kolaborasi untuk Kemajuan Jawa Barat

Untuk itu, diperlukan upaya antisipasi dini dari para pemangku kepentingan (penyelenggara Pemilu, Pemkab, FKUB, TNI, Polri, dan lembaga lainnya). Menerapkan pendekatan khusus, sehingga perbedaan suku dan agama yang ada, tidak justeru menjadi sumber bencana, tapi menjadi kekuatan tersendiri untuk menyukseskan pelaksanaan Pemilu.

Banyak pendekatan yang bisa dilakukan, selain pendekatan normatif yang cenderung kaku dan tidak responsif. Salah satunya melalui pendekatan kultural. Kenapa mesti pendekatan kultural ?, Sebab, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Pasangkayu yang beragam. Sehingga pendekatan yang berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal akan lebih diterima oleh masyarakat.

Pendekatan kultural juga memiliki beberapa keutamaan jika dibandingkan pendekatan normatif. Pertama, pendekatan kultural bersifat holistik, dimana mampu menyentuh jiwa sekaligus raga seorang manusia. Bahkan hakekat manusia itu ada pada jiwanya sehingga pendekatan material-ekonomi tidak cukup untuk menyelesaikan urusan manusia. Manusia sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang memiliki kebudayaan dan dikaruniai potensi kreatifitas untuk dapat bertahan hidup di alam semesta. Dalam menjalankan kreatifitasnya manusia memiliki sistem moral, rasa, etika, nilai-nilai, adat, tradisi, etika, dan estetika.

BACA JUGA:  Lepas Atlet Jabar Berlatih di Korea Selatan, Bey: Ikhtiar Wujudkan Jabar Hattrick PON

Kedua, bersifat partisipatif dan responsif. Pendekatan kultural memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk lebih berpartisipasi. Masyarakat diposisikan sebagai subjek utama. Aspirasi masyarakat dari akar rumput lebih mudah diidentifikasi .Sehingga para pemangku kepentingan bisa segera merespon dalam bentuk formulasi kebijakan yang dapat menjawab segala kegelisahan masyarakat.

Ketiga, pendekatan kultural memberikan penghargaan pada kearifan lokal atau local wisdom yang terdapat dalam masyarakat. Kita ketahui setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi-tradisi luhur yang dapat dijadikan dasar dalam memperkuat hubungan antar mereka. Seperti tradisi madero (tarian khas salah satu suku di Pasangkayu, dimana antar satu orang dengan orang lainya saling berpegang tangan dan membentuk lingkaran). Madero sebagai salah satu tradisi yang dapat meningkatkan keakraban antar satu orang dengan orang lainya, tanpa melihat latar belakang.

Keempat, pendekatan kultural membuat proses pendewasaan demokrasi bisa lebih efektif dilakukan. Dengan memanfaatkan tradisi dan model komunikasi yang berlaku dalam komunitas mereka, upaya edukasi, pendidikan politik dan pemberian informasi tentang kepemiluan dapat tersampaikan dan dipahami dengan baik. Sehingga, secara perlahan kesadaran politik mereka terbangun dan tidak mudah diadu domba. Mereka juga akhirnya dapat menjadi pemilih idealis dan meninggalkan pola pikir pragmatis.

BACA JUGA:  Jabar Rumah bagi Pabrik Sel Baterai Terbesar dan Pertama di Asia Tenggara

Tidak hanya itu, partisipasi masyarakat dalam Pemilu bisa semakin meningkat. Sebab mereka tidak lagi digerakkan oleh kepentingan sesaat, tapi oleh kesadaran jangka panjang demi kemajuan bangsa dan daerahnya.

Pertanyaan sekarang, apa langkah awal yang bisa dilakukan. Hemat penulis, pendekatan kultural bisa dimulai dengan membentuk kelompok binaan didalam komunitas etnis. Melalui kelompok binaan, pemangku kepentingan bisa memulai secara perlahan upaya edukasi dan pendidikan politik. Dengan memanfaatkan tradisi budaya yang ada di komunitas tersebut. Kedepan, kelompok binaan itu diproyeksi menjadi pionir dalam komunitasnya.

Selain itu juga melalui pembentukan jejaring lintas pemimpin komunitas, para tokoh adat, agama, dan pemuda. Jejaring itu bisa menjadi media komunikasi efektif untuk membahas segala macam bentuk isu terkini, serta resolusi konflik. Jejaring mengagendakan pertemuan rutin, untuk membahas agenda bersam, serta dalam rangka semakin mepererat jalinan silaturahim.

Pada akhirnya, kita semua berharap, para aktor politik juga bisa menjadi bagian dalam upaya pendewasaan demokrasi. Sehingga proses kompetisi politik berlangsung sehat dan jauh dari upaya-upaya provokasi. Wassalam.