Hukum  

Motif dan Urgensinya Dalam Sebuah Tindak Pidana

Penulis : Abdul Azis (Mantan Direktur LBH Makassar)

Hampir setiap menit pandangan kita tertuju pada layar HP dan layar TV selama dua pekan ini. Mulai dari berita, ulasan hingga meme tentang dugaan kasus pembunuhan dimana korban dan pelaku dari korsa yang sama yakni kepolisian.

Karena kasus ini menjadi viral, tak pelak mengundang perhatian publik dan pembesar negeri ( Presiden beserta jajarannya). Komentar para nitizen apalagi, hampir setiap detik mendominasi jagad dunia maya.

Issu terakhir yang berkembang dan menjadi tanda tanya publik adalah apa motif dibalik kasus tersebut? Issu ini pula yang membuat pikiran penulis membuncah untuk segera menyeruput kopi dan membuat catatan kecil ini. Namun Sebelum menyinggung tentang motif, tidak sempurnahlah kiranya pemahaman kita jika tidak didahului dengan pengantar tentang sebuah tindak pidana.

Secara sederhana sebuah tindak pidana (delik) dianggap sempurnah atau terpenuhi jika tindakan itu disertai niat, motif, dilengkapi sarana, terdapat kesalahan, lalu diwujudkan (termasuk percobaan) serta ada akibat (terlarang) yang ditimbulkannya.

Dalam teori pidana sebuah delik harus memenuhi unsur-unsur obyektif dan unsur-unsur subyektif. Apa saja unsur-unsur obyektif dimaksud ? Unsur obyektif meliputi subyek, ada Kesalahan (dolus dan Culla lata ), bersifat melawan hukum, tindakan tersebut dilarang (asas legalitas) serta berada dalam ruang waktu (locus) dan tempat (tempus) tertentu. Sedangkan unsur subjektif delik adalah unsur-unsur yang melekat atau berhubungan pada diri si pelaku dan termasuk yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Jadi singkatnya tindak pidana tidak hanya menyangkut sebuah perbuatan dan akibat-akibatnya tetapi juga keadaan diri yakni hati atau mental pelaku yang menyertainya.

Bagaimana urgensi motif dalam sebuah tindak pidana ? Secara letter lecht motif berarti alasan atau sebab. Dalam kamus umum motif berarti alasan (sebab) yang membuat seseorang melakukan sesuatu. Secara Intrinsik motif diartikan sebagai dorongan atau keinginan dari dalam yang tidak perlu mendapat rangsangan dari luar.

Jika diselami lebih jauh, dengan motif si pembuat tindak pidana atau pelaku dijadikannya sebagai faktor pendorong hingga terjadinya sebuah tindak pidana. Dengan motif pula si pelaku kemudian membuat pola dan membagi peran-peran yang sehingga tindak pidana itu bisa terwujud.

Bagi para praktisi hukum ( penyidik, jaksa dan advokat) penentuan motif akan sangat membantu dalam merumuskan sebuah tindak pidana terutama dalam kasus-kasus sulit dan kompleks seperti kasus pembunuhan tersebut di atas. Adalah tidak bisa dinafikan jika motif pula yang akan mengarahkan kita dalam membuat konstruksi sebuah kasus atau perkara yang ditangani baik dalam konteks penyidikan, penuntutan, serta pembelaaan. Jelasnya motif bisa dijadikan dasar atau pijakan dalam mengurai atau menjelaskan secara jelas, cermat dan lengkap sebuah uraian tindak pidana dalam dokumen hukum seperti BAP, Dakwaan serta Pleidoi (pembelaan).

Kendatipun hukum acara pidana Indonesia menganut yuridis-normatif dimana motif tidak menjadi prasyarat dalam sebuah penyidikan dan harus dibuktikan. Akan tetapi secara prinsip pembuktian pidana menganut pembuktian materil. Apatalagi jika dihubungkan dengan perkembangan hukum acara pidana khususnya hukum Anglo-Saxon, maka pengungkapan motif masih tetap menjadi hal yang penting.

Dalam konteks pembelaan oleh seorang Terdakwa atau Penasihat Hukumnya, motif dapat dijadikan dasar dalam melalukan pembelaan minimal dijadikan sebagai alasan pembenar atau pemaaf. Dalalm kasus pembunuhan Brigadir J penasihat hukum FS telah menyimpulkannya bahwa motif yang mendasari tindakan FS adalah untuk membela martabat atau kehormatan keluarga.

Ciri khas pembuktian pidana adalah untuk mencari kebenaran materil yakni kebenaran yang sebenar-benarnya, kebenaran yang hakiki, dan kebenaran yang riil. Kebenaran ini diperoleh dari proses pembuktian melalui alat-alat bukti yang sah serta berdasarkan kepada keyakinan hakim.

Biarkan kebenaran dan keadilan mengalir ke muaranya melalui para pihak-pihak dalam pengadilan sesuai posisinya (standpoint) masing-masing. Oleh Jaksa dengan standpointnya dari subyektif ke obyektif, oleh Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan standpointnya dari subyektif ke subyektif serta oleh hakim dengan standpointnya dari obyektif ke obyektif. (*)

Wallaahuallam