” Pasal-pasal dalam RUU itu, sangat mendiskriminasi organisasi kesehatan. Disana disebutkan pengurusan SIP (surat izin praktek.red) tidak melalui organisasi lagi, tapi melalui Kemenkes. Tentu sangat melemahkan eksitensi organisasi. RUU Omnibus Law, lebih cenderung berpihak pada kepada pemodal ketimbang masyarakat” sebutnya.
Senada, Ketua IBI Pasangkayu, Fitriani, mengaku sangat mendukung penolakan RUU Omnibus Law. Apa lagi sudah ada instruksi langsung dari pengurus pusat IBI agar setiap pengurus daerah melakukan penolakan.
” Alasannya, diantaranya STR ( surat tanda registrasi) sudah berlaku seumur hidup, sehingga berpotensi mengurangi mutu tenaga kesehatan. Padahal, STR seluruh tenaga kesehatan harus diregistrasikan di konsil masing-masing yang akan dievaluasi setiap lima tahun sekali” terang Fitriani.
Alasan lain diungkapkan Ketua PPNI Pasangkayu Mardin, kata dia RUU Omnibus Law, akan membuat semua OP berada dibawah naungan Kemenkes. Padahal, OP yang ada, telah bersusah payah memperjuangkan ekesistensi mereka, dengan mendorong lahirnya undang-undang tentang pengakuan masing-masing organisasi.
” Misalnya PPNI, itu telah memiliki undang-undang sendiri, begitupun dengan organisasi nakes lainnya. Perjuangan untuk melahirkan undang-undang sebagai bentuk pengakuan negara terhadap organinasi profesi ini, tidaklah mudah, butuh perjuangan panjang. Sekarang, tiba-tiba mau disatukan dibawah naungan Kemenkes” keluhnya.
Kemudian sambung dia, RUU Omnibus Law, juga akan semakin mempermudah praktek para dokter asing di Indonesia. Tidak ada lagi sistem evaluasi seperti sebelumnya.(*)