Menuju Sekda Baru Sulbar, Junda Maulana Pemimpin yang Tumbuh dari Kesederhanaan dan Integritas
- account_circle Ekspos Sulbar
- calendar_month Ming, 9 Nov 2025
- comment 0 komentar

Gubernur Sulbar, Suhardi Duka foto bersama calon Sekda Sulbar, Junda Maulana.
EKSPOSSULBAR.CO.ID, MAMUJU – DengaCendrawasih (1984), kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Mamajangana kini dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat. Sosok yang dikenal visioner ini menjadi figur penting dalam mendorong reformasi dan inovasi pemerintahan di Tanah Malaqbi Sulawesi Barat.
Pendidikan dan Latar Belakang Pribadi
Lahir dan besar di Makassar, Junda Maulana dikenal sebagai pribadi sederhana yang gemar membaca dan berolahraga. Sejak muda, ia menunjukkan semangat pengabdian yang kuat terhadap negara. Pendidikan dasarnya ditempuh di SD Negeri Kompleks Cendrawasih (1984), kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 3 Mamajang (1987) dan SMA Negeri 2 Ujung Pandang (1990).
Perjalanan akademiknya di bidang pemerintahan dimulai saat menempuh pendidikan di STPDN Jatinangor Bandung (1993). Ia kemudian meraih S1 Kebijakan Pemerintahan di IIP Jakarta (1998), S2 Administrasi Pembangunan di Universitas Hasanuddin Makassar (2003), dan S3 Ilmu Pemerintahan di Universitas Padjadjaran Bandung (2010).
Junda juga dikenal memiliki integritas kuat, hasil didikan keluarga yang menanamkan nilai kejujuran sejak kecil. Prinsip tersebut menjadi dasar dalam setiap langkah dan keputusan birokrasi yang ia ambil.
Perjalanan karier Junda Maulana adalah kisah pengabdian panjang, ketekunan, dan integritas yang ditempa dari pelosok daerah hingga ke puncak birokrasi. Lahir dan besar di Makassar, menempuh pendidikan di Bandung, dan kemudian ditugaskan di daerah yang bahkan belum pernah ia dengar sebelumnya yakni di Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, kisah hidupnya menggambarkan sosok ASN yang tumbuh dari bawah dan memahami arti sejati dari pengabdian.
Awal Pengabdian: Dari Kota ke Pedalaman
Tahun penempatannya sebagai ASN menjadi awal petualangan panjang Junda Maulana. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan kala itu, ia ditempatkan di Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju daerah yang sama sekali tidak ia kenal.
“Saya cari di peta, cuma ada Gunung Kalumpang, bukan Kecamatan Kalumpang,” kenangnya sambil tersenyum.
Awalnya, Junda lebih senang karena ia mengira akan ditempatkan di Selayar, tempat penugasan awalnya. Namun keputusan sudah ditetapkan. Ia berangkat bersama dua rekannya: Herdin Ismail yang ditempatkan di Pasangkayu, dan Budianto Muin di Kalukku. Mereka berangkat dengan semangat muda tanpa tahu bahwa jarak antar kecamatan di Mamuju tidaklah sedekat di Makassar.
Setibanya di Mamuju, Junda menghadap Kepala BKD saat itu, Rahima. Meski disarankan untuk menunda keberangkatan, ia bersikeras melaksanakan tugas sesuai SK Gubernur Sulsel kala itu.
“Saya bilang, saya tidak bisa melawan SK Gubernur, saya harus melaksanakan tugas,” tuturnya.
Malam harinya sebelum berangkat, ia mencari tahu cara menuju ke Kalumpang. Dari Mamuju, ia harus naik mobil ke Tarailu selama tiga jam, lalu melanjutkan perjalanan delapan jam menggunakan katinting sejenis perahu kecil bermotor. Tanpa kenalan dan tanpa penginapan, ia bermalam di pos ronda sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
“Begitu sampai di Kalumpang, tidak ada penginapan, kantor camat pun tutup karena hari Minggu. Saya ditampung di rumah guru yang sama-sama berangkat dari Tarailu,” kisahnya.
Menjalani Kesederhanaan di Kalumpang
Sebagai staf kecamatan dengan gaji Rp120 ribu per bulan, kehidupan di pedalaman bukan hal mudah. Karena proses administrasi perpindahan dari Jakarta ke Mamuju memakan waktu tiga bulan, ia sempat kekurangan uang dan terpaksa meminjam dari koperasi sebesar Rp500 ribu.
“Setelah dipotong cicilan dan biaya perjalanan, sisa uang saya cuma Rp20 ribu perbulan. Itu saya pakai beli dua dos mi instan, ikan tembang kering satu dos, sementara beras memang sudah ada jatahnya dan saya makan itu setiap harinya,” ujarnya ringan.
Dua tahun bertugas di Kalumpang menjadi masa pembentukan karakter bagi Junda. Di sana, ia belajar tentang kesederhanaan, tanggung jawab, dan disiplin dari atasannya, Camat Yunus Rukka, seorang sarjana hukum yang dikenalnya sebagai ASN yang berintegritas tinggi.
“Beliau banyak mengajarkan saya soal efisiensi, kedisiplinan, dan hukum. Nilai-nilai itu saya pegang sampai sekarang,” katanya.
Mengejar Ilmu, Bukan Jabatan
Setelah dua tahun mengabdi, Junda Maulana kemudian mendapat izin melanjutkan pendidikan. Ia memilih kuliah, bukan jabatan. “Bagi saya, jabatan itu nomor dua. Sekolah lebih penting,” tegasnya.
Kesempatan emas datang ketika Pemerintah Kabupaten Mamuju memiliki anggaran untuk satu orang melanjutkan studi S3. Awalnya ia menolak dan menyarankan seniornya, Haeruddin Anas. Namun setelah seniornya menolak, ia pun mengambil kesempatan itu.
Ia sempat bimbang ketika Bupati Mamuju saat itu, Almalik Pababari, menawarkan posisi camat. “Jadi camat itu impian setiap anak STPDN, tapi saya sudah terlanjur teken kontrak kuliah. Akhirnya saya pilih sekolah,” ujarnya.
Keputusan itu mengantarnya ke Universitas Padjadjaran, dan kemudian melanjutkan studi S3. Saat ia kuliah, Suhardi Duka yang kemudian saat itu menjabat Bupati Mamuju juga memberi dukungan penuh. Suatu ketika, Suhardi Duka menantangnya, “Selesaikan S3-mu, nanti saya lantik kamu eselon II.”
- Penulis: Ekspos Sulbar
