Perdagangan Manusia Harus Jadi Fokus Penanganan Pemerintah Baru

Pertama, Suster Laurentina SDP yang mempunyai panggilan Suster Kargo, karena kiprahnya dalam membantu pemulangan imigran dari dalam dan luar negeri yang menjadi korban perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pengalamannya bersama rekan-rekannya menjemput jenazah korban di bagian kargo Bandara El Tari Kupang, dan mengurus administrasi bandara untuk membantu menghubungkan korban dan keluarga.

Kesaksian itu adalah bentuk nyata perjuangan dalam membela dan membina para korban perdagangan manusia.

Memang hal itu tidak selalu berjalan mulus, banyak tantangan dihadapi seperti identitas yang tidak jelas, dokumen administrasi tidak lengkap bahkan ilegal, dan masih banyak lagi.

“Saya pernah menerima korban hidup tanpa identitas yang sudah kurang lebih 14 tahun tidak bertemu dengan keluarganya, namun ketika ditanya asal dan alamatnya dia hanya menjawab di belakang rumahnya ada pohon asam,” kata Suster Laurentina SDP.

BACA JUGA:  Gubernur Suhardi Duka: Ekonomi Syariah Adalah Jalan Tengah Menuju Keadilan Sosial dan Etika Ekonomi

Dia menambahkan bahwa potensi human trafficking terjadi di mana-mana terutama daerah yang secara ekonomi terbilang kurang mampu.

Akibatnya saat diberikan sedikit iming-iming oleh para mafia tersebut disanalah perdagangan orang terjadi. Mereka yang tidak tahu apa-apa tentang itu tergiur dengan kesempatan bekerja di luar negeri.

Kedua, Suster Kristina Fransiska CP, seorang Suster asli Kalimantan memulai perjuangannya untuk membela korban-korban human trafficking sejak bertugas di Keuskupan Malang. Dia turut andil dalam program sosialisasi ke sekolah-sekolah.

Suster Kristina melihat bahwa calo-calo human trafficking menargetkan anak di sekolah. Menurut kesaksiannya banyak kasus yang ditemui adalah korban yang dijadikan sebagai ‘pengantin pesanan’ oleh calo dengan iming-iming memperoleh hidup yang lebih baik.

BACA JUGA:  Upacara Pemuliaan Nilai-Nilai Luhur Tribrata Jadi Momen Penting Menyambut Hari Bhayangkara ke-79 di Polda Sulbar

Sekarang Suster Kristina Fransiska CP berada dalam Komisi Pendidikan dan Advokasi di KKPP KWI, dalam kesempatan itu juga dia siap membantu siapa saja yang ingin berkolaborasi dalam melawan praktik perdagangan manusia.

Data yang disarikan dari berbagai sumber menyebutkan bahwa sekitar 2% dari pekerja migran Indonesia adalah korban perdagangan manusia. Saat ini ada sekitar 3-4 juta pekerja migran yang tersebar di berbagai negara. Tren baru perdagangan termasuk anak-anak adalah bentuk eksploitasi seksual komersial di wilayah penambangan di Maluku, Papua dan Jambi (data IOM).

BACA JUGA:  Gubernur Sulbar Lantik 29 Pejabat, SDK Tekankan Integritas dan Keteladanan

Sumber pemerintah dan non pemerintah juga melaporkan peningkatan jumlah pekerja tanpa dokumen ke luar negeri dikarenakan perluasan penggunaan dokumen perjalanan biometric yang menyebabkan pemalsuan dokumen menjadi lebih sulit sehingga menjadi mahal untuk didapat. Anak-anak yang tidak memiliki akta kelahiran resmi rentan terhadap perdagangan orang.

Sulawesi Selatan adalah provinsi pertama di Indonesia yang memberi pelayanan penyediaan akta kelahiran gratis untuk semua anak, bahkan yang lahir di luar ikatan pernikahan resmi.

“Tapi pemberian akta kelahiran gratis saja tidak cukup. Para petugas harus paham apa perdagangan orang, bagaimana modus-modusnya dan bagaimana penindakannya,” tegas Nur Atin.