Komisaris Polisi Jamillah dari Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan mengakui bahwa secara umum pemahaman mengenai perdagangan manusia memang masih rendah di kalangan aparat pemerintah secara umum dan khususnya penegak hukum.
“Kalau petugas (kepolisian) tidak mau menelusuri proses awalnya dan hanya melihat akhir dari cerita, sangat mudah menggunakan UU Ketenagakerjaan jika kasus berhubungan dengan buruh, atau UU Perlindungan Anak saja ketika menyangkut anak-anak dibawah umur. Orang-orang itu dengan mudah lolos dari jerat UU TPPO,” kata Jamillah.
Ia mengaku kesulitan jika berhubungan dengan data karena tidak konsistennya pelaporan dan pencatatan yang tidak rapi. Hal serupa diungkapkan oleh Ketua Kaukus Parlemen Perempuan Sulawesi Selatan Tenri Olle yang juga Ketua Komisi E DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
“Bahkan para petugas yang sudah kita latih dan seharusnya menjadi focal point dalam hal ini bisa dimutasi atau dipindah ke daerah atau bagian lain sebelum ada proses regenerasi,” kata Tenri.
Hanya 6 Bulan
Dari sisi peraturan dan perundang-undangan, pemerintah Sulawesi Selatan sudah melangkah jauh dengan dikeluarkannya Perda dan pembentukan gugus tugas perdagangan orang, yang di antaranya memainkan peran untuk deteksi dini atau pencegahan.
Di tingkat pusat, Presiden Joko Widodo telah mengambil langkah tegas dengan mengalihkan gugus tugas pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di bawah koordinasi Polri, sebagai respons terhadap meningkatnya kasus perdagangan manusia di Indonesia.
Presiden juga membawa isu masalah perdagangan manusia ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN 2023 di Labuan Bajo.
Dalam penanganan kasus ini, Kapolri Listyo Sigit memerintahkan semua Kapolda untuk menangkap aparat yang terlibat dalam jaringan mafia perdagangan orang. Namun, meskipun upaya penegakan hukum ditingkatkan, kasus perdagangan manusia masih terus berlangsung.
“Hanya mereda selama enam bulan. Setelah itu, situasinya kembali ramai bahkan semakin parah dengan pemanfaatan teknologi yang canggih,” ujar Romo Paschal.
Meskipun ada upaya dari pihak kepolisian yang baik, namun kejahatan ini terus mengalami peningkatan. Pelaku dalam praktik perdagangan manusia di Batam, misalnya, masih beroperasi tanpa halangan yang signifikan.
Romo Paschal juga menyoroti fakta bahwa praktik perdagangan manusia tidak hanya terjadi di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri. Dia mengkritik bahwa undang-undang terkait perdagangan manusia sudah usang dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Lebih lanjut, undang-undang tersebut juga tumpang tindih dengan undang-undang ketenagakerjaan, yang membuat penanganan kasus seringkali terhambat.
Meskipun ada penangkapan pelaku yang dilakukan secara sporadis, kasus perdagangan manusia masih dianggap biasa. Data terkait TPPO dari Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, dan Kementerian Perempuan bervariasi, menunjukkan penanganan yang tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak efektif dalam menyelesaikan masalah yang ada. (*)